Monday, October 29, 2007

Budaya Merokok : Sudah saatnya harus dihilangkan

Bisa jadi Indonesia adalah satu satunya negara di dunia ini dimana merokok menjadi sesuatu yang seolah dianggap wajib hukumnya.
Tengok saja, bagaimana kebiasaan masyarakat melakukan ritual penghisapan asap tembakau ini.

Budaya merokok sudah sedemikian melekat di kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Di dalam acara kenduri saja, selalu terlihat ada sajian rokok entah itu di atas piring, di dalam gelas atau masih di dalam kemasannya. Kalau kita mempekerjakan seorang tukang untuk merenovasi atau melakukan perbaikan rumah, maka tidak heran kalau rokok adalah merupakan “tunjangan” yang “wajib” diberikan diluar upah pokok pekerja. Di kalangan pertemanan, seseorang yang tadinya bukan termasuk heavy smoker, atas nama persahabatan maka dia merokok.
Di lingkungan institusi pendidikan, kebiasaan ini tak mau ketinggalan. Di dalam menyusun sebuah proposal kegiatan dimana kegiatan itu melibatkan pekerja serabutan maka sangatlah umum si pembuat anggaran mencantumkan pos pengeluaran untuk rokok buat si pekerja. Kenduri seakan kurang pas kalau tidak ada sajian rokok di dalamnya. Pekerja akan kehilangan semangat ketika tahu kalau tidak ada tunjangan buat beli rokok.Seakan kita dianggap kejam, kalau tidak mau mengeluarkan uang untuk pengeluaran rokok pekerja.
Sekarang kita lihat bagaimana kebiasaan kebanyakan orang Indonesia melakukan ritual merokok dari dalam ruangan hingga hingga tempat-tempat terbuka publik.
Kalau kita cermati, betapa para “ahli hisap” ini menciptakan sebuah kebiasaan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar. Tanpa asbak, perokok akan menjatuhkan abu rokok dimana saja dia suka; bisa di lantai, di pot bunga, di atas piring makanan. Sangatlah jarang perokok yang meminta izin terlebih dahulu kepada orang-orang disekitarnya kalau dia hendak merokok. Seolah mau mengatakan “emangnya mau bangun rumah, pake izin segala?” Jadi, sudah sangat lama bangsa ini terdidik untuk tidak perduli kepada sekitar dan sekeliling kita.

Di rumah-rumah tidak jarang ditemukan asbak rokok meski sang empunya tidak merokok – seolah si empunya rumah mau mengatakan “silakan, Anda bebas merokok di sini”. Sebuah toleransi pemberian ruang merokok yang tinggi buat si perokok.
Kalau di tempat umum seperti pertokoan, di atas angkutan umum, bahkan seringkali dicoba dilakukan di atas pesawat, orang tidak malu-malu lagi menghisap asap kenikmatan ini, tanpa mau perduli apakah di sekitarnya ada orang yang terganggu.
Perokok dengan suka-sukanya melakukan ritual itu tanpa memperdulikan lagi orang-orang di sekitarnya. Tak perduli apakah disekitarnya itu orang tua, orang muda, laki-laki, perempuan, ataupun waria. Bahkan di depan bayipun perokok masih bisa menikmati tembakau. Ruar biasa!
Yang paling parah adalah seorang pendidik yang perokok, juga tidak merasa bersalah (kalau tidak mau disebut berdosa) merokok di depan murid-muridnya. Mungkin ini dianggap kebanggaan? Entahlah.
Padahal tidak sedikit orang bisa membaca akan peringatan pemerintah yang tertulis di kemasan rokok. Padalah sudah banyak informasi mengenai bahaya merokok. Padahal sudah banyak korban meninggal disebabkan oleh kebiasaan merokok yang menahun. Padahal tidak sedikit informasi mengenai kandungan zat-zat beracun yang terkandung di setiap batang rokok. Padahal sudah banyak yang faham bahwa meracuni tubuh adalah perbuatan tercela menurut agama.

Depkes RI menyatakan bahwa rata-rata perokok mulai merokok sejak umur 8 tahun atau usia sekolah. Kalau kita lihat secara lebih cermat, anak akan berpotensi meniru kebiasaan merokok orang tuanya yang perokok. Orang tua yang perokok seolah akan mengatakan bahwa 4 sehat 5 sempurna perlu dirubah menjadi 5 sehat 6 sempurna. Merokok menjadi penyempurna ke 6 setalah makan.

Merokok, kalau dihubungkan dengan hukum agama (Islam) maka sebenarnya ada suatu esensi mendasar yang perlu direnungkan secara mendalam. Pertama adalah bahwa merusak tubuh dengan memasukkan zat-zat berbahaya adalah termasuk dosa yang dicatat oleh Tuhan. Kedua dengan bantuan ilmu pengetahuan kesehatan perbandingan antara manfaat dan mudharatnya sudah pasti lebih berat mudharatnya.
Tapi kenapa ya, belum banyak yangberani menyuarakan keharaman rokok?

No comments: