Wednesday, February 11, 2009

Sudah Dewasakah Demokrasi di Negri ini?

Semenjak jarum jam era reformasi berdetak, serentetan pemilihan umum langsung di berbagai daerah di Indonesia digelar. Euforia ini sangat terasa bahkan sampai ke pelosok negri sekalipun. Informasi mengenai beragam catatan peristiwa yang mewarnai proses ini bisa dengan mudah kita akses di media cetak maupun elektronik. Ada banyak sisi suskses dan tak sedikit sisi kelam kejadian-kejadian di tiap-tiap daerah yang menggelar pesta demokrasi ini.

Menjelang pesta politik 2009 ; pemilu legislatif dan pemilu presiden, detak jantung demokrasi semakin terasa cepat. Di daerah dan di kota, banyak terpampang baliho, stiker, poster, spanduk dan media komunikasi lainnya di tempat publik, depan rumah warga hingga sekolah bahkan di depan rumah sakit sekalipun. Jumlahnya sungguh luar biasa, karena satu partai saja bisa menampilkan lebih dari 5 foto calon legislatornya. Lupakan estetika tata kota, karena kita bisa saja menemukan sebuah baliho super besar yang menutupi wajah sebuah sekolah. Parahnya ada beberapa yang terpasang tanpa memperhitungkan faktor keselamatan pengendara di jalan. Baliho terpasang dan menghalangi keleluasaan pandangan pengendara. Namun itulah kenyataannya.

Sekarang kita lihat pesan apa sebenarnya yang tertulis atau tergambar dalam baliho-baliho calon legislator itu. Sebagian besar berisi pesan agar si pembaca memilihnya dalam pemilu. Sesederhana itu. Ada yang menyampaikan pesan sederhana mengenai visi utama calon apabila terpilih. Ada yang rasional dan tidak sedikit yang irasional. Sebagian yang lain hanya "berpose" tanpa ada pesan kuat di dalamnya.
Lucunya, ada beberapa foto yang tidak mengindahkan "kaidah" bahasa tubuh. Di sebuah kota di Jawa Timur, ada salah satu caleg berpose dengan tangan memegang dagu. Wow, sepertinya dia perlu belajar ilmu body language. Agak jarang, kita menemukan baliho yang menawarkan sebuah konsep yang jelas mengenai apa yang bisa "dijual" oleh sang caleg kepada pemilih.
Memang tidak ada salahnya memasang foto caleg sebagai salah satu upaya memperkenalkan diri kepada publik. Hanya saja kondisi ini kemudian sangat berpotensi memberikan pembelajaran kepada masyarakat awam bahwa yang penting fotonya, yang penting tampangnya, yang pentik keurunan siapa sang caleg itu, persoalan visi dan misi adalah nomor kesekian.

Sepertinya diperlukan sebuah lembaga yang bisa menawarkan alternatif informasi dan pengetahuan bahkan wawasan yang diharapkan bisa mewarnai dan mengawal gawe demokrasi ini. Misal dalam bentuk pendidikan politik bagi masyarakat dalam menentukan pilihannya nanti. Tidak ada kata terlambat untuk memulainya. Sehingga masyarakat awam akan memiliki bekal dan pengetahuan yang cukup sebelum mencontreng kartu suara.

Kita lihat saja nanti pada saat kampanye terbuka nanti apakah proses seleksi caleg oleh publik benar-benar bisa berjalan dengan baik sehingga bisa didapatkan caleg dengan integritas, kemampuan dan wawasan yang luas. Caleg seyognyanya dipilih bukan karena faktor keturunan, tampang dan teriakan keras yang dikumandangkan pada saat kampanye. Semoga masyarakat bisa memberikan penilaian yang tepat agar proses kedewasaan demokrasi di negeri ini bisa semakin terwujud.

Tuesday, November 18, 2008

Opini Inke Maris - perlu didukung

Suarapublika - Senin 3 November 2008Halaman 7
Sangat Mendukung UU Pornografi

Segelintir orang pintar telah menebar kebohongan tentang RUU Pornografi beberapa waktu lalu yang merupakan hasil godokan Tim 4, yaitu Depkumham, Depag, Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan Depkominfo, selain Panja DPR. Intisari RUUP dapat dibaca dari empat pasal saja.Pasal 1, 4, 11, dan 12 gamblang menjelaskan tujuannya adalah 1) menghambat penyebaran pornografi yang mesum dan cabul (indecent and obscene sexually arousing material) dan 2) melindungi anak-anak (di bawah 18 tahun sesuai konvensi nasional) dari akses terhadap pornografi dan melindungi anak-anak dari dijadikan objek seks, 3) larangan pornografi disebarluaskan melalui berbagai media yang memuat persenggamaan, ketelanjangan, dan kesan ketelanjangan, persenggamaan dengan penyimpangan, kekerasan seksual, dan onani. 4) yang dikriminalkan adalah produsen, pengedar dan pelaku/model pornografi laki dan perempuan yang melakukan tanpa dipaksa.Silakan periksa, tidak satu pun dari 44 pasal RUPP yang mengancam atau berimplikasi mengancam keanekaragaman bangsa Indonesia atau mengancam pluralisme, atau mengkriminalkan tubuh perempuan, atau mengancam agama, atau mengancam seniman. Jika ada yang mengatakan demikian dan kita percaya, maka segelintir orang telah berhasil mengelabui kita.Mungkin karena mereka tidak menyadari bahwa penjara anak-anak kita sudah dipenuhi oleh pelaku kejahatan seks (80 persen menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia) sebagian besar setelah melihat pornografi melalui komik, VCD, dan lain-lain yang serbamudah dan meriah. Mungkin juga mereka tidak peduli perkosaan anak oleh anak terjadi di banyak kota dari Jambi sampai ke Kupang.Mungkin mereka tidak peduli bahwa 600 film persenggamaan buatan remaja dan mahasiswa di tahun 2007 gentayangan di internet, sementara tayangan kegiatan seks remaja ditebar melalui HP lebih banyak lagi (menurut survey Jangan Bugil Depan Kamera), 2.000 responden usia 8-12 tahun di Jabodetabek semua telah menonton pornografi (menurut survei 2007 Yayasan Buah Hati). Bukankah ini suatu pemborosan sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi Indonesia ?Hebatnya lagi penyebar pornografi anak secara global pelakunyaantara lain di Indonesia seperti diberitakan oleh CNN dan BBC ketika terbongkar situs pornografi anak berbasis Texas di tahun 2002.Penyebaran pornografi sangat sulit dibendung, seperti halnya penyebaran narkoba ilegal, apalagi tanpa undang-undang yang jelas. Semua produk hukum yang ada sekarang tidak mengandung kata pornografi, yang ada pengaturan kesopanan dan kesusilaan yang parameternya lebih tidak jelas dibanding dengan definisi pornografi dalam RUUP.Dengan disahkannya RUUP, maka Indonesia akan lebih mendekati standar internasional sebagaimana yang disarankan oleh ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and the Trafficking of Children for Sexual Purpose). Indonesia seharusnya menyelaraskan hukumnya dengan definisi internasional mengenai pornografi anak. Sangat penting bahwa di dalam RUUP tercantum klausul-klausul mengenai pornografi anak yang melindungi anak-anak dari kejahatan pornografi secara efektif (Global Monitoring Report 2006)

Inke Maris MA
Secretary General
The Save Indonesian Children Alliance(Aliansi Selamatkan Anak Indonesia)

Wednesday, April 16, 2008

Inspirasi Hari Ini

Beberapa waktu yang lalu aku berkenalan dengan seorang disabled person yang begitu mempesona. Aku tak kenal secara fisik, namun pertemuan dan pertemanan virtual memberiku banyak inspirasi yang bendalam.

Betapa tidak, dia terlahir dengan kondisi keterbatasannya namun mampu memberikan manfaat bagi orang lain. Kegiatan hariannya adalah memberikan konseling pada keluarga yang sedang bermasalah disamping dia adalah seorang yang perduli terhadap lingkungan. Dia punya usaha mendaur ulang peralatan dan komponen elektronik yang sudah tidak layak pakai.

Bagiku, dia adalah cermin betapa kita yang penuh fasilitas ini ternyata hanya bisa mengeluh dan mengeluh. Sementara kita lupa bahwa ada banyak hal yang mestinya bisa kita lakukan untuk mempermudah langkah orang lain. Untuk bisa memberikan manfaat yang positif kepada orang lain.

Semoga ini menginspirasi hidupku dan pembacaku.....

Monday, October 29, 2007

Budaya Merokok : Sudah saatnya harus dihilangkan

Bisa jadi Indonesia adalah satu satunya negara di dunia ini dimana merokok menjadi sesuatu yang seolah dianggap wajib hukumnya.
Tengok saja, bagaimana kebiasaan masyarakat melakukan ritual penghisapan asap tembakau ini.

Budaya merokok sudah sedemikian melekat di kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Di dalam acara kenduri saja, selalu terlihat ada sajian rokok entah itu di atas piring, di dalam gelas atau masih di dalam kemasannya. Kalau kita mempekerjakan seorang tukang untuk merenovasi atau melakukan perbaikan rumah, maka tidak heran kalau rokok adalah merupakan “tunjangan” yang “wajib” diberikan diluar upah pokok pekerja. Di kalangan pertemanan, seseorang yang tadinya bukan termasuk heavy smoker, atas nama persahabatan maka dia merokok.
Di lingkungan institusi pendidikan, kebiasaan ini tak mau ketinggalan. Di dalam menyusun sebuah proposal kegiatan dimana kegiatan itu melibatkan pekerja serabutan maka sangatlah umum si pembuat anggaran mencantumkan pos pengeluaran untuk rokok buat si pekerja. Kenduri seakan kurang pas kalau tidak ada sajian rokok di dalamnya. Pekerja akan kehilangan semangat ketika tahu kalau tidak ada tunjangan buat beli rokok.Seakan kita dianggap kejam, kalau tidak mau mengeluarkan uang untuk pengeluaran rokok pekerja.
Sekarang kita lihat bagaimana kebiasaan kebanyakan orang Indonesia melakukan ritual merokok dari dalam ruangan hingga hingga tempat-tempat terbuka publik.
Kalau kita cermati, betapa para “ahli hisap” ini menciptakan sebuah kebiasaan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar. Tanpa asbak, perokok akan menjatuhkan abu rokok dimana saja dia suka; bisa di lantai, di pot bunga, di atas piring makanan. Sangatlah jarang perokok yang meminta izin terlebih dahulu kepada orang-orang disekitarnya kalau dia hendak merokok. Seolah mau mengatakan “emangnya mau bangun rumah, pake izin segala?” Jadi, sudah sangat lama bangsa ini terdidik untuk tidak perduli kepada sekitar dan sekeliling kita.

Di rumah-rumah tidak jarang ditemukan asbak rokok meski sang empunya tidak merokok – seolah si empunya rumah mau mengatakan “silakan, Anda bebas merokok di sini”. Sebuah toleransi pemberian ruang merokok yang tinggi buat si perokok.
Kalau di tempat umum seperti pertokoan, di atas angkutan umum, bahkan seringkali dicoba dilakukan di atas pesawat, orang tidak malu-malu lagi menghisap asap kenikmatan ini, tanpa mau perduli apakah di sekitarnya ada orang yang terganggu.
Perokok dengan suka-sukanya melakukan ritual itu tanpa memperdulikan lagi orang-orang di sekitarnya. Tak perduli apakah disekitarnya itu orang tua, orang muda, laki-laki, perempuan, ataupun waria. Bahkan di depan bayipun perokok masih bisa menikmati tembakau. Ruar biasa!
Yang paling parah adalah seorang pendidik yang perokok, juga tidak merasa bersalah (kalau tidak mau disebut berdosa) merokok di depan murid-muridnya. Mungkin ini dianggap kebanggaan? Entahlah.
Padahal tidak sedikit orang bisa membaca akan peringatan pemerintah yang tertulis di kemasan rokok. Padalah sudah banyak informasi mengenai bahaya merokok. Padahal sudah banyak korban meninggal disebabkan oleh kebiasaan merokok yang menahun. Padahal tidak sedikit informasi mengenai kandungan zat-zat beracun yang terkandung di setiap batang rokok. Padahal sudah banyak yang faham bahwa meracuni tubuh adalah perbuatan tercela menurut agama.

Depkes RI menyatakan bahwa rata-rata perokok mulai merokok sejak umur 8 tahun atau usia sekolah. Kalau kita lihat secara lebih cermat, anak akan berpotensi meniru kebiasaan merokok orang tuanya yang perokok. Orang tua yang perokok seolah akan mengatakan bahwa 4 sehat 5 sempurna perlu dirubah menjadi 5 sehat 6 sempurna. Merokok menjadi penyempurna ke 6 setalah makan.

Merokok, kalau dihubungkan dengan hukum agama (Islam) maka sebenarnya ada suatu esensi mendasar yang perlu direnungkan secara mendalam. Pertama adalah bahwa merusak tubuh dengan memasukkan zat-zat berbahaya adalah termasuk dosa yang dicatat oleh Tuhan. Kedua dengan bantuan ilmu pengetahuan kesehatan perbandingan antara manfaat dan mudharatnya sudah pasti lebih berat mudharatnya.
Tapi kenapa ya, belum banyak yangberani menyuarakan keharaman rokok?

Wednesday, October 24, 2007

Tukulisme oleh Eep Saefulloh Fatah

Saya dengar acara "Empat Mata"-nya Tukul Arwana di sebuah stasiun TV sudah tak lagi berkibar-kibar rating-nya. Ia tak lagi menjadi acara yang paling diminati pemirsa TV Indonesia. Posisinya sudah melorot jauh. Tapi, bagaimanapun Tukul telah meninggalkan sesuatu yang sesungguhnya sangat berarti buat kita. Mungkin tanpa kita sendiri menyadarinya.Tukul dan "Empat Mata"-nya adalah sebuah fenomena. Ia dengan cepat menarik minat pemirsa dalam jumlah luar biasa. Rating-nya --terlepas bahwa kita tak gampang percaya pada validitasnya-- bertengger di urutan teratas selama lebih dari satu tahun. Talkshow ini menjadi sajian hiburan bukan saja bagi kalangan masyarakat kebanyakan di warung-warung kopi, melainkan juga ibu presiden di Istana Negara.
Tukul pun menuai popularitas secara saksama dalam tempo sesingkat-singkatnya.Tapi, bukan capaian jumlah penonton dan popularitas itu yang sejatinya membikin Tukul fenomenal. Fenomena Tukul terletak pada kesediaan, kemampuan, dan kekuatan Tukul untuk menertawakan diri sendiri. Dengan rileks ia mempertontonkan dirinya secara apa adanya. Lalu, segala hal-ihwal buruk yang melekat pada dirinya dibiarkannya --bahkan didayagunakan-- menjadi bahan sorakan, sindiran, dan tertawaan penonton di studio serta pemirsa di depan layar kaca.
Dengan enteng, Tukul mempertontonkan bahasa Inggris-nya yang hancur-hancuran, kemampuan berdialog dengan narasumber yang sangat terbatas, ketidakmngertiannya pada sebagian naskah wawancara yang disiapkan tim "Empat Mata". Ia seolah berkata secara retoris pada kita, apa salahnya jadi orang bodoh, tak becus bahasa asing, dan punya pemahaman serba terbatas tentang dunia? Tidakkah jujur akan semua kekurangan diri sendiri serta berani memperlihatkannya justru merupakan sesuatu yang amat bernilai?Dengan serta merta kita pun menerima Tukul dengan tangan terbuka. Kita yang terbiasa bersua dengan para pejabat publik, figur publik, dan tokoh-tokoh yang selalu memasang topeng pemanis rupa, merasa bertemu dengan sosok yang sungguh dirindukan alam bawah sadar kita. Pada Tukul kita menemukan kejujuran, kesediaan menampilkan diri apa adanya, dan kemampuan menertawakan diri sendiri. Sebuah cara menampilkan diri yang terasa sehat dan patut.Itulah Tukulisme itu. Sesuatu yang membikin kita gampang terpikat.
Daya pikat sejenis saya temukan pada Samuel Mulia, penulis rubrik "Parodi" di sebuah koran nasional. Sungguh mudah dan ringan menerima kolom Samuel beserta segenap pesan mulia di dalamnya. Sebabnya sederhana saja: Samuel dengan santai kerap membiarkan dirinya menjadi contoh dari hal-hal buruk yang ditulisnya. Sebaliknya, ia hampir selalu mencari dan menunjuk orang lain sebagai contoh atau ilustrasi tentang kebaikan.Akibatnya, kolom-kolom etiket dan perilaku Samuel tak pernah terasa menggurui. Ia tak pernah tampil sebagai pengkhotbah yang nyinyir. Kita, para pembacanya, justru seperti bersua dengan kawan bicara rendah hati yang senantiasa riang di tengah segenap kebusukan dan keterbatasan dirinya.Pada dasarnya, mereka yang secara bersahaja menampilkan diri apa adanya biasanya memang memesona. Pesona mereka justru bersumber dari absennya kecenderungan untuk tebar pesona. Daya pesona mereka terletak pada kerelaan menampilkan diri apa adanya. Mereka pun tak terasa sebagai makhluk asing di sekitar kita. Mereka hadir sebagai bagian dari keseharian kita yang centang perenang. Mereka menjadi manusia biasa dengan segenap keunggulan dan kebobrokannya.
Celakanya, agak jarang menemukan politisi dan pejabat publik penganut Tukulisme. Umumnya politisi dan pejabat publik kita berusaha menampilkan dirinya dalam balutan kesempurnaan --sesuatu yang sesungguhnya hanya fatamorgana. Mereka mematut diri habis-habisan. Seolah-olah, di bawah tampilan penuh kesempurnaan itulah publik dan calon pemilih akan bertekuk lutut lalu mendukung mereka.Saya tak percaya teori tekuk lutut semacam itu. Politisi dan pejabat publik justru terlihat berkilau penuh nilai menakala rela menampilkan diri apa adanya, jujur mengakui segenap kelemahannya, dan menghormati hak setiap orang untuk mengeritik dan mengingatkannya. Politisi dan pejabat publik terbaik bagi saya adalah mereka yang tampil bak manusia biasa, layaknya tetangga sebelah rumah.Pada pejabat semacam itu, kita tak berharap menemukan pengetahuan yang unggul serta retorika yang canggih. Di atas segalanya, kita bisa berharap bahwa mereka penuh empati. Merekalah para pejabat bernilai dan langka. Sepanjang hampir satu dekade reformasi, kita kelebihan pejabat banyak tahu dan canggih beretorika. Pada saat sama, kita mengalami defisit pejabat berempati.Maka, ada baiknya Tukul tak sekadar kita jadikan tontonan dan bahan hiburan. Di atas segalanya, ia sesungguhnya sebuah tempat belajar yang bersahaja.

Eep Saefulloh Fatah Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia

Kesabaran

Paling gampang, kita bilang (khususnya saya) "yang sabar ya..." kepada rekan, sahabat, anak, mertua dan siapa pun yang kita hadapi. Namun situasi barangkali akan berbalik ketika itu terjadi pada diri kita.

Lalu apa yang sebaiknya kita perbuat?

Yang pertama, pada saat kesadaran kita masih ada, maka hakikat kesabaran harus kita cari dahulu. Sabar menurut bahasa manusia barangkali ada batasan yang jelas. Oleh karena tak heran jika seseorang mengatakan"ini sudah melewati batas kesabaran saya," "kesabaran saya sudah habis," "saya sudah cukup bersabar selama ini."
Seseorang yang dalam doa-doanya selalu berharap akan sesuatu bisa terjadi dalam waktu yang dia harapkan, namun apa yang dia harapkan tersebut tidak terjadi; lantas orang tersebut mengatakan "kok Allah tidak mengabulkan doa saya ya?"
Kata-kata yang terlontar tersebut diatas, kalau kita cermati justru mengindikasikan bahwa seseorang telah gagal dalam ujian kesabarannya. Ternyata sabar menurut bahasa Allah itu tidak ada batasannya!

Yang kedua, salah satu kunci penting di dalam melatih kesabaran kita adalag ikhlas terhadap apa yang tidak kita kehendaki atau harapkan. Menerima dengan lapang dada kenyataan yang harus kita hadapi. Sedikit saja keikhlasan kita berkurang, maka potensi untuk menjadi tidak sabar akan terjadi.

Hendaknya di dalam doa dan kehidupan sehari-hari, kita bisa menunjukkan setidaknya kepada diri kita dan tentunya Allah, bahwa kita bisa menerima sesuatu kenyataan dengan ikhlas dan lapang dada. Persoalan doa yang menurut kita tidak dikabulkan sebenarnya adalah masalah waktu dan hak prerogratif Allah. Allah lah yang maha tahu kapan kita layak mendapatkan sesuatu. Harus diyakini bahwa apa yang kita dapatkan saat ini adalah sudah sesuai dengan takaran Allah.

Terkabulnya doa bisa bermacam-macam. Ada doa yang langsung dikabulkan oleh Allah. Kedua ada doa yang dikaulkannya di kemudian waktu. Dan yang ketiga, ada doa yang dikabulkan dalam bentuk lain - karena sekali lagi ini adalah hak prerogratif Allah.

Yang ketiga, senantiasa berprasangka positif atas setiap kehendak Allah. Segera berinterospeksi bisa menjadi salah satu cara untuk melatih prasangka positif kita. Setidak nyaman apapun kondisi kita, harus diyakini dengan pemikiran bahwa di luar sana masih banyak orang yang lebih kurang beruntung daripada kita.

Yang keempat, kita (khususnya saya) senantiasa bertaubat atas masa lalu kita.

Mudah-mudahan bermanfaat dan memberikan inspirasi dalam kehidupan kita.

Friday, October 19, 2007

Nidaurrochmah Hartono, the first

Nidaurrochmah Hartono, the first

Anak pertama kami lahir pada tanggal 11 Mei 1998 - awal sebuah kehidupan baru republik ini.

Kami sangat berharap pada Allah agar Nida bisa menjadi penyeru atas rahmatNya.

Sayang, aku baru dipertemukan dengannya ketika dia sudah berumur 2.5 bulan.

Foto Nida ini diambil di depan rumah Pak De Gono di Malang, subhanallah, pemandangan yang cantik ya.